Minggu, 30 Oktober 2011

Jatinangor Jazz Event, Festival Musik yang Belajar dengan Sejarah


Petikan gitarnya mengalun indah. Jemari lentiknya terlihat menguasai setiap nada yang terangkai. Adhitya Yudistira (21) gitaris band  Soul of Jazz ini begitu lihai memainkan gitarnya membawakan lagu Terdiam  milik Maliq d’Essential dengan arransemen lagu yang indah. Ya, penampilan soul of jazz siang itu diatas panggung kompetisi band jazz di Jatinangor Jazz Event (JJE) pada Kamis 13 Oktober lalu sungguh memukau. Meski cuaca lumayan terik , tidak membuat pria 21 tahun ini hilang konsentrasi untuk memainkan gitarnya.

Kalau Jakarta punya Java Jazz Festival (JJF), sekarang Jatinangor  juga tak mau kalah. Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran (UNPAD) Jatinangor, Sumedang-Jawa Barat, mencoba mengadakan acara serupa yang bertajuk  Jatinangor Jazz Event 2 (JJE) dengan konsep acara yaitu Historical Jazz atau sejarah Jazz (13/10). Pengagas acara musik yang dikenal sebagai “musik milik kalangan berduit” ini ingin menampilkan unsur baru dalam dunia music jazz yaitu bahwa music jazz bukan hanya music yang enak untuk didengar namun juga bagaimana agar orang-orang terutama penikmat music jazz tahu perubahan atau perkembangan musik jazz dari pertama munculnya musik jazz hingga berkembang sampai dengan zaman modern saat ini.
Sebagai media untuk merepresentasikan konsep ini, panitia penyelenggara JJE mencoba menyampaikannya melalui guest star yang ditampilkan. Guest star yang mengisi acara tersebut adalah Maliq & d’Essentials,  Tulus, Stereotitude, dan Halfwhole Project dari Klabjazz Bandung, Band Jazz Fakultas Psikologi Unpad serta  pemenang audisi band Jazz.  Acara jazz ini terbagi menjadid du bagian besar yaitu diawali dari kompetisi band jazz yang diikuti oleh 9 peserta kemudian disusul dengan pertunjukan music sekaligus penganugerahan kepada para pemenang lomba. “Penjuriannya lumayan ketat euy, selain itu pesertanya juga mempunyai skill yang bagus lah kalo kata saya mah. Gak tahu menang apa engga band saya teh”, tukas Adhitya Yudistira(21) , gitaris band jazz Soul of Jazz. Para juri dalam audisi band ini adalah Dwi Cahya Yuniman (Koordinator of Klab Jazz), Imam Pras (pianis jazz) dan Venche  (gitaris jazz sekaligus pendidik jazz). “Awalnya sih JJE ini hanya pengen ngadain acara music jazz aja, tapi sayang aja kalo event seperti ini hanya berlatar belakang sekedar menikmati music. Toh di lingkungan kita kan banyak yang memiliki potensi untuk bermain music jazz. Akhirnya kami mencoba untuk menampilkan sesuatu yang baru yaitu menggabungkan pertunjukan music dengan kompetisi band sekalian. Gak ada salahnya juga menurut kami. Jadilah JJE, ada konser music tapi ada juga kompetisinya”, papar Arvan Avrianto (21) , ketua palaksana JJE ini ditengah kesibukannya mengatur jalannya JJE. 

Jatinangor Jazz Event mendapat respon yang cukup bagus di kalangan mahasiswa. Adanya Jatinangor Jazz Event membuktikan bahwa mahasiswa juga mampu turut serta dalam mengahasilkan musikus jazz muda yang memiliki bakat potensional untuk mengembangkan jazz agar music ini semakin bisa diterima di kalangan masyarakat dan semakin luas penikmatnya. Meskipun dengan jumlah peserta kompetisi yang tidak begitu banyak namun peserta kompetisi ini bukan peserta yang ecek-ecek. Bisa dikatakan bahwa mereka masih belum expert tetapi penampilan peserta diatas panggung tiak mengecewakan para penonton yang sore itu memadati Lapangan Koperasi Mahasiswa Unpad Jatinangor.

Nobel Sepertinya Masih Jauh dari Mimpi-Mimpi Indonesia




Penghargaan Nobel Internasional nampaknya masih menjadi barang langka untuk Indonesia meski negeri ini sudah sering mencoba mengiuti atau mengirimkan delegasinya ke berbagai ajang festival tingkat internasional.  Bukan karena Indonesia tidak mau ekstra keras untuk mandapatkan penghargaan abergengsi sejagad ini , namun pola pikir di masyarakatlah yang masih menjadi ganjalan terbesar mengapa negara ini tak mampu bersaing dengan negara lain. Pola asuh orde baru yang selalu mengajarkan sikap konsumtif dan “malas” juga masih menjadi dominasi dalam kehidupan Indonesia.


Meski rezim orde baru (Orba) telah lewat, namun tidak bisa dipungkiri bahwa efek dari jaman ini mengakibatkan lima faktor utama penyebab Indonesia tidak pernah mandiri dan terus menerus dalam mengalami krisis, yaitu berbagai terpaan badai yang membekukan, terutama dari negara barat atau negara modern yang ingin menjajah ekonomi atau teknologi, dan mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia. Faktor lain yang memegang peranan terpenting adalah budaya KKN yang tak akan pernah binasa dari bumi Indonesia. Mereka para pelaku KKN yang merampok keuangan dan membangkrutkan bangsa, yang juga menyebabkan Indonesia terjebak hutang maha besar serta membuat ekonomi/bisnis Indonesia dikuasai oleh konglomerasi internasional yang bekerjasama dengan para konspirator nasional jahat yang terdiri atas tikus berdasi, pengusaha nakal, dan beberapa politisi dan petinggipetinggi negara yang bermental preman. Badai  SARA juga menambah deret hitam mengapa bangsa ini sangat sulit untuk bergerak menjadi negara salah satu penyumbang hadiah nobel di kancah Internasional. Justru yang terjadi di masyarakat yaitu meningkatnya  kecurigaan berbasis suku, agama, ras, dan golongan antar masyarakat.


Jika bicara tentang prestasi Indonesia, salah satunya yaitu di ajang kompetisi sains, seperti Olimpiade Fisika Internasional, mungkin nama Yohanes Surya tidak asing lagi untuk kita dengar. Atas upaya dan perannyalah generasi muda Indonesai mampu mengharumkan negeri ini di kancah internasional. Fisikawan pendidik dan peneliti ini telah berjasa membuka jalan bagi bangsa Indonesia untuk memasuki fase pembaruan. Dia telah merintis jejak bagi murid-murid cemerlang sekolah menengah Indonesia masuk pada komunitas fisika pemula antarbangsa melalui Olimpiade Fisika Internasional dan kompetisi riset fisikawan muda beraras dunia: The First Step to Nobel Prize in Physics. Ia pun “bercita-cita” mempersiapkan peneliti Indonesia meraih Nobel tahun 2020. Walaupun sudah punya greencard (izin tinggal dan bekerja di Amerika Serikat), Yohanes pulang ke Indonesia dengan tujuan ingin mengharumkan nama Indonesia melalui olimpiade fisika dengan semboyannya waktu itu “Go Get Gold”, serta mengembangkan fisika di Indonesia. Selama berkarier di bidang pengembangan fisika, Yohanes pernah mendapatkan berbagaiaward/fellowship, antara lain “CEBAF/SURA award” AS ’92-93 (salah satu mahasiswa terbaik dalam bidang fisika nuklir pada wilayah tenggara Amerika), penghargaan kreativitas 2005 dari Yayasan Pengembangan Kreativitas, anugerah Lencana Satya Wira Karya (2006) dari Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono. Pada tahun yang sama, ia terpilih sebagai wakil Indonesia dalam bidang pendidikan untuk bertemu dengan Presiden Amerika Serikat, George W. Bush. Namun harapan itu spertinya masih sangat jauh untuk dicapai Yohanes Surya.
Lalu sampai kapankan keadaan ini akan terus berlangsung? Akankah Indonesai hanya punya mimpi untuk mendapatkan penghargaan nobel internasional? Pertanyaan-pertanyaan itu sebenarnya bisa dijawab jika saja kondisi internal Indonesia bisa dibenahi. Secara teoritis, “kegagalana” Indonesia yang sampai sekarang belum pernah mendapat nobel karena beberapa faktor.
 Pertama, terlambatnya ilmu pengetahuan dapat diakibatkan karena suatu masyarakat tersebut hidup dalam keterasingan dan dapat pula karena ditindas oleh masyarakat lain. Kedua , adanya suatu sikap yang membanggakan dan mempertahankan tradisi-tradisi lama dari suatu masyarakat akan berpengaruh pada terjadinya proses perubahan. Karena adanya anggapan bahwa perubahan yang akan terjadi belum tentu lebih baik dari yang sudah ada. Mindset ini masih terlalu kuat berkembang di masyarakat kita, meskipun sekarang sudah lumayan terdesak dengan kaum cendikiawan yang lebih melek pengetahuan. Ketiga , adanya kepentingan yang telah tertanam dengan kuatnya. Organisasi sosial yang telah mengenal sistem lapisan dapat dipastikan akan ada sekelompok individu yang memanfaatkan kedudukan dalam proses perubahan tersebut. Contoh, dalam masyarakat feodal dan juga pada masyarakat yang sedang mengalami transisi. Pada masyarakat yang mengalami transisi, tentunya ada golongan-golongan dalam masyarakat yang dianggap sebagai pelopor proses transisi. Karena selalu mengidentifikasi diri dengan usaha-usaha dan jasa-jasanya, sulit bagi mereka untuk melepaskan kedudukannya di dalam suatu proses perubahan. Keempat  adalah kurangnya hubungan dengan masyarakat lain. Hal ini biasanya terjadi dalam suatu masyarakat yang kehidupannya terasing, yang membawa akibat suatu masyarakat tidak akan mengetahui terjadinya perkenmbangan-perkembangan yang ada pada masyarakat yang lainnya. Jadi masyarakat tersebut tidak mendapatkan bahan perbandingan yang lebih baik untuk dapat dibandingkan dengan pola-pola yang telah ada pada masyarakat tersebut. Anggapan seperti ini biasanya terjadi pada masyarakat yang pernah mengalami hal yang pahit dari suatu masyarakat yang lain. Jadi bila hal-hal yang baru dan berasal dari masyarakat-masyarakat yang pernah membuat suatu masyarakat tersebut menderita, maka masyarakat ituakan memiliki prasangka buruk terhadap hal yang baru tersebut. Karena adanya kekhawatiran kalau hal yang baru tersebut diikuti dapat menimbulkan kepahitan atau penderitaan lagi. Hambatan ini biasanya terjadi pada adanya usaha-usaha untuk merubah unsur-unsur kebudayaan rohaniah. Karena akan diartikan sebagai usaha yang bertentangan dengan ideologi masyarakat yang telah menjadi dasar yang kokoh bagi masyarakat tersebut.
Budaya korupsi yang tidak pernah hilang dari Indonesia lah yang perlu mendapat sorotan penting. Perkembangan ilmu pengetahuan yang lambat setidaknya bisa diatasi jika dana pengembangan pendidikan tidak selalu disunat oleh oknum-oknum nakal. Sudah menjadi rahasia umum bahwa hampir di semua departemen pemerintahan negeri ini hampir sebagian besar dananya “disunat”. Isu panas yang lumayan memalukan adalah pengadaan asrama atlet Sea Games yang sebentar lagi akan berlangsung di Palembang. Beberapa nama pejabat penting terseret dalam kasus ini, sepeti Nazarudin dari partai Demokrat, dan Angelina.S yang pernah menduduki gelar puteri Indonesia.
Beberapa hal yang dipaparkan diatas menjadi gambaran Indonesia dari jaman Orba sampai sekarang. Dwngan demikian , sejak 1965 sampai detik ini (2011) , bangsa Indonesia bolwh dikata telah dijajah kembali olwh konspirasi jahat internasional yang bersimbiose mutualis dengan konspirasi jahat nasional yang tersentralisasi di Jakarta, sehingga boleh dikata bahwa Indonesia sampai saat ini belum merdeka sepenuhnya. Jangankan mendapat penghargaan nobel Internasional, kemerdakaan negara ini saja menjadi nasib yang masih harus dipertanyakan.